Bisakah vonis alternatif seperti kerja sosial bisa kurangi masalah penjara yang penuh sesak?
![]() |
Hukuman penjara dianggap penegak hukum sebagai keputusan populis sehingga dijatuhkan secara berlebihan. |
DPR saat ini sedang membahas
Rancangan KUHP untuk alternatif hukuman penjara yang diharapkan dapat
mengurangi jumlah terpidana di penjara, yang sekarang ini sudah penuh
sesak.
Namun apakah Indonesia siap dengan hukuman yang membuat seorang terpidana yang tidak masuk penjara?
Tak
dapat dipungkiri bahwa kondisi rata-rata penjara di Indonesia saat ini
penuh sesak, karena -menurut pakar hukum Anugerah Rizki Akbari- hukuman
pidana yang dijatuhkan dengan berlebihan.
"Hampir sekitar 75% dari
yang kita lakukan pada 16 tahun pertama reformasi, bahwa pelanggaran
yang oleh orang-orang di hukum pidana itu dianggap sebagai bukan tindak
pidana yang sesungguhnya. Biasanya pelanggaran-pelanggaran itu berada di
ranah administrasi. Misalnya (kelalaian) pemberian izin, mencatatkan
(sesuatu)," kata Rizki Akbari yang mengajar di Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera.
"Nah pidana itu dipakai untuk populis akibatnya lapasnya penuh."
Hukuman alternatif
Untuk
mengurangi beban penjara, DPR sedang membahas alternatif hukuman,
seperti denda, kerja sosial, pengawasan, ganti rugi, dan rehabilitasi
bagi korban.
Alternatif hukuman tersebut rencananya akan
diberikan untuk pelaku kejahatan atau pelanggaran dengan ancaman pidana
atau putusan penjara maksimal enam bulan.
Salah satu yang banyak
didukung sejauh ini adalah kerja sosial karena bersisi tiga: yaitu
sebagai hukuman, bermanfaat bagi publik, dan juga mengurangi beban
pemerintah.
Sementara hukuman dalam bentuk denda, menurut Rizki Akbari, masih bisa dimaksimalkan.
"Andaikan
denda itu dipakai untuk tindak pidana yang ringan-ringan, saya pikir
orang-orang justru akan jera untuk melakukannya ketimbang dihukum.
Karena kalau tindak pidana ringan kita hukum penjara, yang ada
masyarakat bukannya jera, dia akan merasa tidak adil dan tidak percaya.
Jadi harus ditaruh dalam proporsi yang benar," papar Rizki Akbari.
Namun
Supriyadi Eddyono -Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice
Reform yang bergerak dalam reformasi peradilan- yakin masih banyak
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan lebih dulu.
"Di Rancangan
KUHP pasti hanya sedikit orang yang bisa ikut pidana kerja sosial karena
butuh pengawasan, birokrasi, dan sebagainya", kata Supriyadi.
"Dan
saya pikir, teman-teman Kumham belum begitu siap. Karena kita tahu itu
kan berada di bawah Bapas (Balai Pemasyarakatan), yang saat ini belum
begitu tangguh untuk bisa melaksanakan program ini," tambahnya.
Hal
serupa diutarakan Rizki Akbari, bahwa selagi masih dalam perumusan
sampai nanti KUHPnya disahkan maka 'minimal harus disiapkan pihak yang
harus mengawasi, maupun bentuk serta prosedurnya'.
![]() |
Kerja sosial untuk pelanggar muda atu pelanggar ringan sudah diimplementasikan di banyak negara. salah satunya Inggris. |
Masyarakat 'belum siap'
Namun
tampaknya bukan hanya aparat yang masih jadi penghambatnya, juga
masyarakat yang belum siap karena sering reaktif atas terpidana yang
tidak masuk bui.
"Harusnya kan ada mekanisme tahanan rumah,
tahanan kota. Tapi begitu penegak hukum melakukan itu, masyarakat
reaktif," kata Direktur Teknologi Informasi dan Kerjasama Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan, Aman Riyadi.
"Akhirnya karena sudah
kadung ditahan, maka jaksa tidak mungkin tidak menuntut dan terpaksa
menuntut. Jangan sampai orang ditahan tidak ada dasarnya. Hakim karena
dia sudah ditahan, ya seringan-ringannya seminggu baru dia bebas. Tapi
kan pada masa itu dia di tempat kita."
"Yang paling penting
sekarang bagaimana masyarakat paham tentang proses diversi, restoratif.
Ayo kita berikan pemahaman ini kepada masyarakat."
Dan memang, masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa penjara adalah satu-satunya hukuman yang dapat memberi efek jera.
"Harus dipenjara. Dipenjara akan juga ada perbaikan etika atau kelakuan. Supaya jera saja," kata Bram Yana.
"Dipenjara supaya ada efek jera. Kalau tidak begitu nanti yang lain-lainnya ikut berulah," tutur Mahtali Bahtiar.
Namun
Yusuf Sihotang berpendapat lain: "Saya sih setuju karena untuk saat ini
Indonesia kan sudah kepenuhan penjara. Dan karena memang kejahatannya
kan juga bukan kejahatan berat yah."
Hukuman bagi pengguna narkoba
Aman
Riyadi dari Dirjen Pemasyarakatan memaparkan bahwa penghuni terbesar
lapas di Indonesia saat ini adalah pengguna narkoba. Oleh karena itu,
dia sangat mendukung pidana alternatif selain penjara.
"Undang-Undangnya
lebih banyak menggunakan pidana alternatif dan penggunaaan diversi
bukan hanya untuk anak, tapi juga untuk pengguna narkotika yang
betul-betul pengguna," katanya.
Supriyadi dari ICJR, betatapun
menekankan bahwa pengguna narkoba sebaiknya dikenakan pasal UU Narkotika
yang baru dibanding RKUHP karena.
"Dengan UU Narkotika yang baru
mereka (para pengguna) tidak masuk penjara, sedang RKUHP mereka harus
menjalani pidana pokok dulu. Dan itu tidak menyelesaikan masalah
(penjara) yang terlalu penuh."
Data dari Dirjen Pemasyarakatan
saat ini memperlihatkan bahwa pemerintah dapat menghemat Rp6 triliun
jika sekitar 50.000 napi dengan masa tahanan enam bulan tidak masuk
penjara melainkan diberi alternatif hukuman seperti kerja sosial.
"Ini uang pajak kita lo, Rp6 triliun bisa untuk pendidikan, pembangunan," kata Aman Riyadi.
"Biarlah lapas hanya untuk yang betul-betul dipenjara, yang tidak perlu dipenjara tidak usah masuk penjara."
Sumber:www.bbc.com
Leave a Comment