Mereformasi Konsep Pemasyarakatan
Ilustrasi (David Prasetyo/Jawa Pos) |
Permasalahan seputar lembaga
pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) beserta penghuninya,
narapidana (napi)/tahanan, seolah tidak pernah habis. Yang terbaru
adalah kaburnya ratusan penghuni Rutan Pekanbaru pada Jumat (5/5).
Kerusuhan yang terjadi merupakan akumulasi kemarahan penghuni rutan.
Kondisi rutan yang berkapasitas 561 tahanan itu tidak manusiawi karena
harus dihuni 1.870 orang. Satu kamar kadang sampai harus diisi 30 orang
(Jawa Pos, 6/5).
Peristiwa kaburnya ratusan penghuni rutan tersebut memperpanjang
permasalahan seputar lapas dan rutan. Setidaknya ada empat kerusuhan di
lapas/rutan. Pertama, kerusuhan di Lapas Bengkulu pada 23 Maret 2016.
Kedua, peristiwa serupa di Lapas Kelas II-B Kuala Simpang, Aceh Tamiang,
pada 1 April 2016. Ketiga, kerusuhan di Lapas II-A Kota Denpasar
(Kerobokan) pada 21 April 2016. Keempat, kerusuhan di Lapas Narkotika
Kelas II-A Banceuy, Bandung, pada 23 April 2016.
Sebagian kasus kerusuhan dipastikan diikuti kaburnya beberapa
tahanan/napi. Namun, yang terjadi di Pekanbaru merupakan peristiwa napi
kabur terbanyak sepanjang sejarah di tanah air. Bayangkan, sekitar 260
tahanan/napi melarikan diri. Hingga kemarin (7/5), setidaknya separo
dari total tahanan/napi yang kabur sudah ditangkap dan menyerahkan diri.
Berbagai kasus kerusuhan di lapas/rutan memunculkan tanda tanya. Ada
apa dengan pengelolaan narapidana/tahanan? Para pelaku kejahatan itu
seolah tidak diperlakukan secara profesional. Mereka selalu disalahkan
setiap kali muncul permasalahan. Pemerintah selalu mengemukakan alasan
yang sama terkait dengan kasus tersebut, yakni overkapasitas.
Ada usulan menarik di tengah selalu munculnya permasalahan di
lapas/rutan. Sejumlah kalangan mengusulkan perlunya swastanisasi
pengelolaan lapas/rutan. Tentu swastanisasi itu dibatasi dalam
manajemennya saja. Misalnya jadwal besuk, jadwal pemberian makanan,
pembinaan olahraga, aktivitas kerohanian, dan rutinitas lain di
lapas/rutan. Sedangkan pengawasan tetap berada di bawah kendali
pemerintah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan tentang
pemasyarakatan. Usulan swastanisasi itu perlu dikaji. Mengingat
banyaknya kasus di lapas/rutan membuktikan ketidakberdayaan pemerintah
dalam mengelolanya, diperlukan pelibatan swasta agar ada peningkatan
profesionalitas di bidang pemidanaan.
Yang tak kalah penting, andai saja benar overkapasitas menjadi pemicu
berbagai permasalahan di lapas/rutan, pihak swasta bisa menjadi solusi
dengan dilibatkan dalam pembangunan fisik lapas/rutan. Apa tidak
memunculkan bentrokan kepentingan pihak swasta dalam pengelolaan
lapas/rutan? Di sinilah yang harus dibicarakan lebih lanjut. Pelibatan
swasta tentu harus diikuti penyempurnaan sistem pengawasan lapas/rutan.
Pemerintah harus duduk bersama DPR untuk mengkaji bentuk peningkatan
pengawasan tersebut. Salah satu usulan yang berkembang adalah perlunya
pembentukan komisi pemasyarakatan. Komisi itu nanti tidak hanya diisi
pihak pemerintah, tetapi juga kalangan masyarakat dan akademisi. Kita
berharap kehadiran orang di luar sistem pemasyaratan dapat menyumbangkan
pemikiran tentang masa depan pemasyarakatan, termasuk bentuk
pengawasannya.
Tugas komisi pemasyarakatan tidak tumpang tindih dengan kewenangan di
bidang pembinaan napi yang selama ini dimiliki Kemenkum HAM. Sebab,
komisi itu sebatas mengawasi secara eksternal pengelolaan
pemasyarakatan, khususnya terhadap napi yang bersifat khusus seperti
napi narkoba, korupsi, dan pelanggaran HAM.
Kita berharap kejadian di Pekanbaru merupakan kerusuhan terakhir di
lapas/rutan. Masyarakat ingin ada perubahan menyeluruh dalam
pemasyarakatan pelaku kejahatan. Napi/tahanan seharusnya tidak menjadi
korban sistem pemasyarakatan yang bobrok untuk kali kedua.
Sumber: Jawapos.com
Leave a Comment