Mulyadi, Penghuni Lapas Delta yang Aktif Produksi Kompos
TUMBUH SUBUR: Mulyadi (depan) bersama Kasubsi Bimker Andik Prasetyo (kiri) dan Kasi Kegiatan Kerja Sutarno di lahan pembuatan pupuk kompos. Mereka menunjukkan aneka tanaman dengan pupuk kompos. |
Penjara tak membuat kepedulian
Mulyadi terhadap lingkungan hidup berhenti. Di dalam bui, dia terus
melanjutkan ’’hobinya’’. Yakni, memproduksi pupuk kompos. Hasilnya sudah
terlihat. Lahan tandus berubah penuh tanaman yang menghijau.
Kondisi areal brandgang Lapas Kelas II-A
Sidoarjo yang berdekatan dengan dapur kini tidak kumuh seperti dulu.
Wilayah selatan bui yang sebelumnya penuh karung tumpukan sampah itu
telah disulap menjadi lingkungan yang asri.
Puluhan tanaman dalam media polybag berjajar rapi. Ada beragam
tanaman buah dan sayuran. Mulai terong, cabai keriting, sampai cabai
rawit. Ada pula pohon delima yang berbuah cukup lebat. Di lahan lain,
ada deretan tanaman sawi yang baru ditanam dan mulai tumbuh tinggi.
Semua tanaman tersebut tampak subur. Lahan untuk menanam sawi yang
sebelumnya kering dan banyak batu sekarang telah berubah. Agar bisa
ditanami, tanah gragal itu dicampur pupuk kompos. Begitu juga tanah di
polybag. Telah bercampur dengan kompos.
Kasubsi Bimbingan Kerja (Bimker) Lapas Kelas II-A Sidoarjo Andik
Prasetyo menyatakan, Mulyadi merupakan sosok di balik pembuatan pupuk
kompos itu. Sejak menjadi penghuni lapas pada Januari 2015 karena
terjerat kasus korupsi Program Penanganan Sosial Ekonomi (P2SEM),
Mulyadi antusias untuk memproduksi pupuk dari bahan organik tersebut.
Saat ditemui Jawa Pos Selasa (7/2), Mulyadi sibuk mengaduk sampah
basah dari berbagai sisa sayuran dan kulit buah di salah satu bak
produksi pupuk kompos. Tidak ada masker yang menutupi wajahnya. Kedua
tangannya pun tak dilindungi sarung plastik.
Bau menyengat dari sampah yang mulai membusuk di bak lain tak
mengusiknya. Pria 63 tahun itu betah berlama-lama di depan bak
pengolahan pupuk kompos buatannya. Sesekali Mulyadi bahkan melongok ke
bak pupuk setengah jadi yang berbau tidak sedap tersebut. ’’Wis (sudah)
kebal. Sudah terbiasa dengan baunya,’’ kata pria kelahiran Jogjakarta
itu, lantas tersenyum ramah.
Petugas dan penghuni lapas lain paham soal keahlian dan kebiasaan
penghuni blok B tersebut. Mereka yang ingin bertemu Mulyadi tinggal
menuju ke areal brandgang (lorong bagian tembok kedua) lapas. Di tempat
itulah pria yang dulu menjadi dosen salah satu perguruan tinggi di
Surabaya tersebut kerap menghabiskan waktu.
Biasanya dia berada di lokasi pembuatan pupuk dan areal pertanian itu
mulai pukul 08.00. Pada pukul 11.30, dia kembali lagi ke blok karena
waktunya blok tutup. Siang sekitar pukul 13.00 sampai pukul 14.30, dia
kembali ke sana. ’’Jika diizinkan seharian di sini, juga betah,’’
ujarnya, lalu tertawa.
Mulyadi mengungkapkan awal mula dirinya membuat kompos. Dia membuat
kompos tidak untuk tujuan komersial, tapi lebih pada kepedulian
lingkungan. Saat itu, dia melihat banyaknya sampah basah yang ditumpuk
begitu saja di sisi lapas. Akibatnya, keadaan lapas terlihat kumuh.
Menurut dia, tiap hari sampah dari sisa sayuran atau bahan basah
lainnya cukup banyak. Ada 4–5 karung. Sampah-sampah itu sering sampai
membusuk sebelum truk sampah datang untuk mengangkutnya.
Padahal, tumpukan sampah itu menyimpan potensi dan manfaat untuk
pertanian. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos untuk berbagai
tumbuhan di areal lapas. Lebih luas, hasil kompos yang melimpah juga
bisa menunjang program urban farming di Kota Delta. ’’Kegiatan ini juga
bisa mengedukasi warga binaan,’’ jelasnya.
Setidaknya, para napi dan tahanan yang menimba ilmu tentang pembuatan
kompos dari Mulyadi memiliki bekal saat nanti keluar bui. Ketika bebas,
mereka bisa memproduksi kompos sendiri. Hasilnya bisa dijual untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan begitu, mantan napi yang telah
merdeka memiliki harapan hidup yang lebih baik.
Tidak lama lagi Mulyadi bebas dari bui. April nanti dia menghirup
udara bebas. Alumnus fakultas pertanian yang bergelar insinyur pertanian
itu telah menuntaskan masa pidananya selama lebih dari dua tahun. Saat
ini dia terus mencari napi baru yang mau ’’mewarisi’’ produksi kompos di
penjara. ’’Sudah ada tiga orang yang mau belajar,’’ ucap Mulyadi.
Dia menegaskan, pembuat kompos harus bermental baja. Tidak jijik
dengan sampah atau bahan organik lain yang menjadi bahan dasar kompos.
’’Kalau memotong sisa sayuran saja, gampang. Tapi, ngaduk-aduk (kompos
yang bau, Red), itu agak susah kelihatannya,’’ ungkapnya.
Namun, dia yakin tantangan itu bisa dilewati warga binaan yang benar-benar peduli lingkungan.
Sejak di luar bui, Mulyadi memang peduli lingkungan. Dia juga aktif
membuat kompos. Bahkan, dia sering memberikan pelatihan di
sekolah-sekolah tentang pembuatan pupuk organik tersebut. Kecintaannya
pada lingkungan menumbuhkan cita-citanya untuk tetap menjadi praktisi
pertanian selepas dari bui.
Sumber : Jawapos.com
Leave a Comment