Petugas Lapas Minim Pengetahuan Paham Radikal, Bagaimana Mau Bina Napi Teroris
Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono melakukan inspeksi mendadak (sidak) di beberapa lokasi pelayanan kepolisian di Kota Semarang.
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Upaya deradikalisasi di
lembaga pemasyarakatan (lapas) belum optimal lantaran keterbatasan
pengetahuan petugas mengenai paham-paham keagamaan.
Dalam beberapa kasus, petugas lapas malah terpengaruh paham radikal.
Kasubid Registrasi, Informasi, dan Komunikasi Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Tengah, Nana Hendriana mengatakan, deradikalisasi bukan hal mudah. Upaya itu pun tidak bisa hanya dibebankan kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Kasubid Registrasi, Informasi, dan Komunikasi Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Tengah, Nana Hendriana mengatakan, deradikalisasi bukan hal mudah. Upaya itu pun tidak bisa hanya dibebankan kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Menurutnya, petugas lapas perlu mendapatkan perlindungan. Mereka
harus benar-benar memiliki ketahanan dalam membina napi teroris.
Sebab menangani terpidana terorisme berbeda dengan yang lain.
Minimnya pengetahuan petugas lapas soal paham keagamaan sehingga bukan
napinya yang menjadi tidak radikal, tetapi petugas lapas yang
dikhawatirkan terseret menjadi radikal.
Dalam program deradikalisasi terorisme, pihaknya bekerjasama dengan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun, segala macam
upaya deradikalisasi tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan BNPT. "Dalam
hal ini kami hanya ketempatan saja. Sedangkan terkait upaya-upaya
deradikalisasi, assesmentnya seperti apa sepenuhnya ada di BNPT,"
imbuhnya.
Pendekatan yang diambil Kementerian Hukum dan HAM saat ini, yakni
memisahkan antara napi kasus teroris berdasarkan kadar dan potensi
radikal yang mereka miliki. Diharapkan upaya ini bisa memutus rantai
penyebaran paham radikal dan konsolidasi mereka di dalam lapas.
Ada empat macam napi kasus teroris yang penggolongannya berdasarkan
asesment BNPT. Mereka yang ideologinya kuat dan keberadaannya
diibaratkan menjadi pucuk pimpinan dipisah dalam sel tersendiri.
Sedangkan jika hanya simpatisan masih bisa digabung.
"Jika tingkat radikalnya tinggi maka biasanya ditempatkan di sel
tersendiri. Sedangkan kalau hanya simpatisan masih bisa digabung sesama
napi teroris lain. Mereka juga disebar di berbagai lapas di Indonesia,
dan kebijakan itu ada di pusat," imbuhnya.
Menurutnya di masing-masing lapas yang ketempatan napi teroris perlu
ada petugas yang benar-benar fokus menangani terpidana kasus terorisme.
Sehingga mereka diharapkan bisa mengontrol tingkat radikalisme dari
waktu ke waktu untuk menyukseskan program deradikalisasi. Di Jawa Tengah
sendiri saat ini ada 72 narapidana kasus terorisme. Mereka tersebar di
12 lapas.
Seperti dilaporkan Tribun Jateng, program deradikalisasi dinilai
belum sepenuhnya sukses. Nyatanya, sejumlah pemain lama kasus terorisme
kembali muncul beraksi meneror. Seperti yang baru-baru ini terjadi di
Samarinda Kalimantan Timur atau Purwakarta Jawa Barat.
Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Condro Kirono menungkapkan, pihaknya
bersama instansi terkait bakal terus melakukan deradikalisasi.
Upaya-upaya yang dilakukan satu diantaranya dengan memonitor eks
narapidana kasus terorisme maupun napi teroris yang masih ada di lapas.
Selain itu, kerjasama dengan Detasemen Khusus 88 Antiteror juga terus
dilakukan, terkait pengembangan informasi-informasi jaringan teroris di
Jawa Tengah.
Sumber: jateng.Tribunnews.com
Leave a Comment