Menengok Perkembangan Lapas Berbasis Pesantren
WARGA BINAAN – Mengenakan baju koko, peci, dan bersarung, warga binaan LPKA Kelas II A Martapura memperdalam ilmu agama. |
PROKAL.CO, Penyesalan
selalu hadir di penghujung perbuatan. Godaan untuk mengulang kejahatan
sering mengganggu para pencari tobat. Salah satu kuncinya, berhijrah.
Dan Lembaga Permasyarakatan menjadi salah satu gerbangnya.
MUHAMMAD AMIN, Martapura
Pukulan rebana atau terbangan
disertai lantunan syair berisi pujian kepada Nabi Muhammad Saw
sayup-sayup terdengar di corong musala Lembaga Pemasyarakatan Khusus
Anak (LPKA) Kelas II A Martapura. Harmoni pukulan dari penabuh terbangan
sebelum jam besuk jadi bukti para warga binaan cukup lihai
mengumandangkan Salawat.
Warga binaan itu juga ada yang
berani tampil menyambut tamu penting saat berkunjung ke Lapas. Sarungan
dan berpeci putih lengkap dengan baju koko, mereka terlihat percaya diri
memperlihatkan keterampilannya. Sangat kontras dengan kehidupan awal
sebelum dijebloskan ke jeruji besi, pendidikan agama dan lingkungan baik
adalah tempat yang sangat sulit di dapat.
“Beginilah mereka sehari-hari
sebelum dan semenjak Pesantren At Taubah diresmikan di Lapas Martapura,
mereka tetap kami didik berbasis agama,” kata Kepala LPTKA Kelas II A
Martapura, Tri Saptono, saat Radar Banjarmasin berkunjung ke Lapas yang
terletak di Jalan Pintu Air Martapura tersebut.
Inovasi menghidupkan gaya pesantren
yang coba dilekatkan pada lingkungan Lapas Martapura adalah jawaban dari
gaya lama pembinaan yang jalan di tempat. Penyebutan santri warga
binaan cukup memengaruhi gaya bergaul di dalam jeruji besi. Kendati
belum full time menjalankan kurikulum karena baru diresmikan, gaya
pembinaan yang diadopsi dari Lapas Cianjur dan sebagian besar Lapas di
Jabar itu justru mendapat dukungan santri warga binaan.
“Kegiatan sejak Senin sampai Kamis,
ada tiga hari untuk belajar agama dan satu hari untuk kegiatan
istighosah. Bila ada yang tidak serius, tentu kami berikan sanksi,
biasa, satu yang mengganggu kegiatan dan tidak serius bisa memengaruhi
jamaah yang lain,” terangnya.
Guru agama, ujarnya sengaja
didatangkan dari MUI Banjar sebanyak 20 orang, terdiri dari tujuh
ustazah dan sisanya ustaz. Semua warga binaan wajib dapat giliran
menjadi santri, pelajarannya pun yang dasar-dasar dari ilmu fikih mulai
belajar wudu, bacaan salat, gerakan salat, membaca tulis Alquran, serta
ceramah.
”Kami harus memilah-milah juga warga
binaan yang punya ilmu agama dan tidak, termasuk warga binaan
anak-anak dan sudah dewasa. Semakin lama di Lapas, tentu semakin banyak
ilmu yang didapat,” tutur Tri Saptono lagi sembari menerangkan total
santri berjumlah 1195 orang, termasuk tiga tersangka KPU Banjar yang
jadi titipan Jaksa Banjar wajib mengikuti jadwal pondok.
Jadwalnya pun dimulai sejak pukul
08.00 Wita dan baru berakhir sekitar pukul 09.30 Wita. Selesai kegiatan
pondok pesantren, mereka baru bisa dibesuk, jadi, waktu besuk diundur
dan jauh hari telah diumumkan kepada keluarga warga binaan. Tingkat
kesulitan mendidik santri warga binaan, tambah Saptono sangat tinggi
makannya, ada kesan dibuatkan lingkungan seperti pondok sehingga mereka
takut berbuat yang aneh di Lapas. ”Kata ulama Martapura, tingkat
keberhasilan di bawah 10 persen sudah cukup luar biasa. sewaktu bebas
tidak mengulangi lagi tentu kami mengucapkan rasa syukur,” ujarnya.
Sebagai ilustrasi di Cianjur, terang
Saptono, selama lima tahun lebih berjalan pendidikan berbasis pondok
pesantren, sangat kecil warga binaan yang berbuat jahat dan kembali ke
Lapas. Keterangan itu diperkuat dari polsek setempat, bahwa warga binaan
yang telah menjalani hukuman di Lapas Cianjur sangat minim terjaring
kejahatan.
“Dulu, salah satu napi yang dipindah
ke Cianjur dari Lapas lain mendadak kaget dan minta pindah ke Lapas
lain. Alasanya tidak mudah mendapat “sesuatu” (narkoba) yang selama ini
mudah didapat. Setelah ditolak, dia malah terbiasa dan jadi baik dan
saat ini sudah bebas,” kata Saptono.
Sedangkan Amang Zaini salah salah
satu santri warga binaan mengaku bahagia sejak kehadiran pembinaan
berbasis pesantren. Dirinya mengaku ingin tobat dan tidak mau
mengulanginya kejahatan yang enggan disebutkannya. Zaini yang memiliki
keterampilan mengaji dan bisa diandalkan menjadi guru mengaji sesama
warga binaan sering mendapat curhat.
“Mereka sering mengeluh tidak bisa
mengaji. Sekarang malah bebas mengaji berkat dibuatkan lingkungan
seperti gaya pondok. tidak seperti dulu, sekarang Salat Jumat juga wajib
diikuti seluruh warga binaan,” tuturnya.
Warga binaan yang mengaku sudah
hafal beberapa juz Alquran itu membenarkan, warga binaan anak-anak patut
diperhatikan. Mereka kurang segala-galanya, kurang pendidikan, kurang
kasih sayang, dan kurang mendapat lingkungan yang baik. Selama ini
anak-anak banyak jadi korban narkoba.
”Alhamdulillah, mereka berniat ingin
bisa mengaji dan tobat. Saya juga pak hanya ingin tobat, pastinya
menyesal,” pungkasnya. (yn/ram)
Sumber:kalsel.prokal.co
Leave a Comment