Endang Herawaty, Pembimbing Konseling Pesantren At-Taubah Rutan Cerme
PERHATIAN: Endang Herawaty mendampingi seorang tahanan di Rutan Cerme. |
Kisah sedih banyak tersembunyi di
balik terali besi. Para perempuan penghuni Rutan Banjarsari, Cerme,
membutuhkan sosok yang punya telinga dan hati luas untuk tempat
bercerita. Dia adalah Endang Herawaty, psikolog dari MUI Gresik.
Ruang Pelayanan Tahanan Rutan Cerme terasa gerah
pada Rabu (18/1) siang. Para petugas rutan sibuk mengurusi besukan. Napi
dan para tahanan yang dibesuk keluarga bercengkerama hangat di sana. Di
tengah ruang besuk, ada sosok berhijab merah muda. Dia fokus.
Mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya.
Perempuan itu adalah Endang Herawaty. Pembimbing konseling yang
sedang menjalankan sesi konseling dengan tahanan perempuan bernama
Stefany Natalya. Perhatian Endang tidak lepas dari curhatan Stefany.
Terkadang ekspresinya sedih. Prihatin dengan isi cerita itu. Kemudian,
ekspresi tersebut berubah menjadi lebih bersemangat dan berseri. Endang
memberikan saran dan motivasi untuk Stefany.
”Dia tadi cerita kenapamasuk sini (rutan, Red). Katanya dijebak
suaminya buat nyuri sembako di supermarket. Saya nggak tanya kasusnya,
tapi dia cerita sendiri,” ujar Endang kepada Jawa Pos.
Sebagai pembimbing konseling, Endang mengaku punya kode etik. Yakni,
tidak menanyakan kasus yang menjerat para tahanan dan napi. ”Itu bisa
membuka luka lama,” tutur psikolog yang didatangkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Gresik itu.
Sejak pembukaan Pesantren At-Taubah yang digagas Baznas, MUI, dan
Rutan Gresik pada Oktober 2016, Endang ditunjuk sebagai pembimbing
konseling. Di rutan, ada 14 warga binaan perempuan.
Dia datang setiap Rabu. Sepekan sekali. ”Kalau di sini, sebutannya
bukan napi dan tahanan. Kami panggil mereka santri,” tambah Endang.
Konsep Pesantren At Taubah memang dibuat layaknya ponpes. Empat bulan
menjadi kawan cerita para santri perempuan menjadi pengalaman yang luar
biasa bagi perempuan 40 tahun itu.
Topik curhat yang sering dilontarkan adalah kerinduan. Rindu kepada
suami, anak, dan keluarga. Kebanyakan santri perempuan itu memang
seorang ibu. ”Mereka nggak bisa lepas dari kangen sama anak-anaknya,”
papar dia. Endang tahu obat rindu tersebut hanya bertemu orang yang
dirindukan. Tapi, dia selalu menyarankan untuk menitipkan rindu mereka
pada untaian doa dan sujud.
Ada yang cerita anaknya diejek teman sekolah. Pas besuk, si anak
tidak mau digendong atau dipeluk ibunya. ”Kalau sudah begitu, saya nggak
bisa nahan air mata. Saya juga seorang ibu,” kenang Endang.
Kepada mereka, perempuan kelahiran NTT itu mengajak untuk selalu dan
husnuzan. Sebab, Tuhan ada pada persangkaan setiap hambanya. Endang
berharap mereka tidak berhenti berpikir positif kepada Yang di Atas.
Setiap santri dibangkitkan untuk menjadi sosok yang kuat, sabar, dan
ikhlas. Salatsunah dan mengaji menjadi pengisi waktu luang.
Terapi lain adalah meminta maaf kepada keluarga. Juga, memaafkan diri
sendiri. Lalu, diakhiri dengan bertobat memohon ampun. Kembali menjadi
pribadi baru. ”Masalah tidak bisa dihindari. Harus dihadapi dan dijalani
dengan kekuatan spiritual,” ungkap dia.
Endang mendekati para santri dengan cara berbeda. Sesuai pembawaan
atau karakternya. Dia juga acap kali mengawali sesi konseling dengan
main games. Suasana menjadi hangat dan cair. ”Senang melihat mereka
tertawa terbahak-bahak saat games. Itu luar biasa sekali rasanya,”
ungkap lulusan psikologi Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Sumber: Jawapos.com
Leave a Comment